Perjalanan Memaknai Dunia (Bagian 2: Agama)

Manusia mencoba mencari arti dalam hidupnya. Mereka melakukan banyak hal-hal besar yang jauh melampaui akal untuk menemukan apa solusinya. Akhirnya mereka mendapati bahwa hal-hal besar itu sia-sia karena solusinya ada dalam diri mereka sendiri. Manusia secara pribadi memiliki suatu ruangan dalam pikirannya. Ruangan itu tak terbatas, bisa diisi apa saja, berapa saja dan kapan saja. Hal inilah yang membuat manusia menjadi tidak puas oleh karena mengisi ruang tak terbatas itu dengan hal-hal terbatas yang mereka temukan dalam pencarian arti hidup. Pada akhirnya, manusia menemukan arti hidup ketika ruangan yang tak terbatas itu diisi oleh Yang Tak Terbatas juga. Tuhan. Itulah SQ (Spiritual Quotient).

Penulis lahir dalam keluarga Protestan, dibesarkan dalam lingkungan Katolik dan bergaul dengan teman-tema Muslim, Hindu serta Buddha. Tak ada yang salah dengan agama, namun apakah agama dapat membawa kepada suatu spiritualitas. Jawabannya kembali kepada diri masing-masing, karena cara penyikapan tiap-tiap orang berbeda. Pertanyaannya adalah bisakah  penyikapan ini disamakan? Penulis tidak mau berpolemik dengan ini. Kebenaran bagi tiap orang bisa memiliki standar berbeda-beda ketika mereka lebih memilih ego dan emosi masing-masing diatas suara hati nurani. Tak dapat dipungkiri juga, manusia pun masih terkecoh oleh suara hati nurani yang tidak murni. Ketidakmurnian ini terjadi akibat masih bercampurnya emosi dan ego bawaan, dan ini tidak mudah dihilangkan. Contohnya, secara normal, siapa sih manusia yang ingin kalah? Hehe.. Kemenangan selalu lebih indah daripada kekalahan. Jikalau pun kalah, bisakah kekalahan itu diterima? Atau, malah melanjutkan dengan pembelaan atau pembenaran? Penulis selalu kagum kepada orang yang berjiwa ksatria menerima kekalahan. Memang ini seperti koin bersisi dua. Di satu sisi dihujat karena kalah (oleh diri sendiri atau orang lain), di sisi lain dipuji (biasanya oleh pihak yang menang) karena menerima kekalahan.

Sifat ego manusia ditambah lagi dengan adanya agama akan membuat kotak-kotak atau kubu manusia. Inilah suatu potensi perpecahan yang selalu bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak tidak benar yang ingin memanfaatkan kondisi. Penulis sempat berpikir, apakah agama menjadi hanya satu-satunya jalan menuju Tuhan? Atau adakah jalan spritualitas menuju Tuhan tanpa melalui agama?

Penulis lebih memilih konteks percaya/ beriman kepada Allah Yang Maha Kuasa, tanpa melalui agama karena agama mengotak-otak manusia. Semua agama mengajarkan kasih. Kasih tidak hanya milik agama tertentu. Kasih berlaku universal bukan?

Akhirnya penulis menyimpulkan makna hidup/dunia didapat melalui Tuhan. Spiritual, hubungan dengan Maha Kuasa yang Tak Terbatas, didalamnya akan ditemukan jawaban.

Leave a comment