Perjalanan Memaknai Dunia (Bagian 2: Agama)

Manusia mencoba mencari arti dalam hidupnya. Mereka melakukan banyak hal-hal besar yang jauh melampaui akal untuk menemukan apa solusinya. Akhirnya mereka mendapati bahwa hal-hal besar itu sia-sia karena solusinya ada dalam diri mereka sendiri. Manusia secara pribadi memiliki suatu ruangan dalam pikirannya. Ruangan itu tak terbatas, bisa diisi apa saja, berapa saja dan kapan saja. Hal inilah yang membuat manusia menjadi tidak puas oleh karena mengisi ruang tak terbatas itu dengan hal-hal terbatas yang mereka temukan dalam pencarian arti hidup. Pada akhirnya, manusia menemukan arti hidup ketika ruangan yang tak terbatas itu diisi oleh Yang Tak Terbatas juga. Tuhan. Itulah SQ (Spiritual Quotient).

Penulis lahir dalam keluarga Protestan, dibesarkan dalam lingkungan Katolik dan bergaul dengan teman-tema Muslim, Hindu serta Buddha. Tak ada yang salah dengan agama, namun apakah agama dapat membawa kepada suatu spiritualitas. Jawabannya kembali kepada diri masing-masing, karena cara penyikapan tiap-tiap orang berbeda. Pertanyaannya adalah bisakah  penyikapan ini disamakan? Penulis tidak mau berpolemik dengan ini. Kebenaran bagi tiap orang bisa memiliki standar berbeda-beda ketika mereka lebih memilih ego dan emosi masing-masing diatas suara hati nurani. Tak dapat dipungkiri juga, manusia pun masih terkecoh oleh suara hati nurani yang tidak murni. Ketidakmurnian ini terjadi akibat masih bercampurnya emosi dan ego bawaan, dan ini tidak mudah dihilangkan. Contohnya, secara normal, siapa sih manusia yang ingin kalah? Hehe.. Kemenangan selalu lebih indah daripada kekalahan. Jikalau pun kalah, bisakah kekalahan itu diterima? Atau, malah melanjutkan dengan pembelaan atau pembenaran? Penulis selalu kagum kepada orang yang berjiwa ksatria menerima kekalahan. Memang ini seperti koin bersisi dua. Di satu sisi dihujat karena kalah (oleh diri sendiri atau orang lain), di sisi lain dipuji (biasanya oleh pihak yang menang) karena menerima kekalahan.

Sifat ego manusia ditambah lagi dengan adanya agama akan membuat kotak-kotak atau kubu manusia. Inilah suatu potensi perpecahan yang selalu bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak tidak benar yang ingin memanfaatkan kondisi. Penulis sempat berpikir, apakah agama menjadi hanya satu-satunya jalan menuju Tuhan? Atau adakah jalan spritualitas menuju Tuhan tanpa melalui agama?

Penulis lebih memilih konteks percaya/ beriman kepada Allah Yang Maha Kuasa, tanpa melalui agama karena agama mengotak-otak manusia. Semua agama mengajarkan kasih. Kasih tidak hanya milik agama tertentu. Kasih berlaku universal bukan?

Akhirnya penulis menyimpulkan makna hidup/dunia didapat melalui Tuhan. Spiritual, hubungan dengan Maha Kuasa yang Tak Terbatas, didalamnya akan ditemukan jawaban.

Perjalanan Memaknai Dunia (Bagian 1: Hal-Hal Sederhana)

Ketika aku sedang berkelana mencari untaian makna, aku menemukan banyak hal sederhana yang terlupakan. Sederhana yang kumaksud adalah mengenai hal-hal kecil yang berkenaan dengan pengembangan diri sendiri dan hubungan dengan orang lain. Sampai sejauh ini baru dua hal itu yang kutemui, selebihnya aku harap bisa bertambah seiring berjalannya waktu. Meski tujuan perjalanan ini sudah jelas, sejujurnya aku tak tahu kapan perjalanan ini berakhir, jalani saja dulu.

Perjalanan ini boleh kugambarkan seperti perjalanan eksplorasi minyak dan gas bumi. Lakukan seismik, olah data, tentukan titik-titik yang mungkin dan lakukan wildcat drilling. Jika dry hole, uang melayang, jika tidak maka segera lakukan penentuan batas2 reservoir dengan appraisal drilling. Keliatannya sederhana dan sistematis, namun pada kenyataan tidak seperti itu. Coba tanya kepada mereka yg bergelut di bidang itu, aku pikir mereka pasti memberikan penjelasan yang lebih gamblang.

Perjalanan yang kumaksud ini sejatinya sudah kumulai sejak keluar dari institusi sekolah yang telah memberikan gelar sarjana, dengan label subsidi dari pemerintah. Aku disini menyadari suatu kesalahan, bahwa aku terlambat melakukan start, disaat orang-orang telah melakukannya jauh sebelum mereka wisuda. Namun tak apa, masih syukur aku akhirnya bisa sadar bahwa hidup tanpa makna adalah sia-sia.
***

Dari banyak hal yang kutemukan, aku menyebut ada dua hal yang terlupakan, tentang diri sendiri dan tentang hubungan dengan orang lain. Harus kuakui, dua hal ternyata hal-hal sederhana.

1. Diri sendiri
Perjalanan yang kualami tidaklah sendiri, namun bersama-sama dengan orang lain. Disini aku bisa liat cerminan diriku dari tindakan dan perilaku orang-orang disekitarku. Secara gak sengaja aku pernah terdampar bersama 107 orang lainnya dalam satu tempat yang sama. Kemudian berlanjut dengan seorang teman aku berlabuh di sebuah kecamatan kecil di jalur pantura untuk urusan pekerjaan. Dari kesempatan ini, aku mengamati banyak hal, namun sekali lagi ada satu hal yang menggelitik akal sehatku. Sesuatu yang sepertinya tidak pernah terlintas di benak orang lain. Sesuatu itu adalah hal yang dilakukan orang sehabis bangun tidur.

Mengapa hal ini menarik bagiku? Jawabannya karena penasaran. Karena aku penasaran dengan hal-hal apa yang dilakukan orang sebelum memulai harinya yang mungkin saja ringan atau mungkin juga berat. Tentu ada banyak kegiatan yang bisa dilakukan setelah bangun tidur. Ada yang bangun terus berdoa, ada yang olahraga, ada yang langsung ribet cari smartphone atau ada juga yang nutup selimut dan tidur lagi. Masih banyak contoh lagi karena tiap orang bisa berbeda-beda. Namun, dari berbagai macam orang yang ada, berapakah yang ketika bangun tidur salah satu hal yang dilakukannya adalah membereskan tempat tidurnya? Membereskan tempat tidur, tidakkah itu terlihat sederhana? Coba tanya kepada diri kamu sendiri karena aku juga bertanya pada diriku sendiri tentang ini. Menurutku hal sederhana ini mungkin terlupakan bagi beberapa orang.
***

Waktu aku berada di kelompok besar bersama 107orang lainnya di suatu pondok militer, kami diajarkan untuk bersikap rapih sedari awal, termasuk dalam hal tempat tidur. Kami harus meninggalkan tempat tidur dalam keadaan enak dipandang. Selimut harus ditata sedemikian rupa agar licin dan datar. Demikian juga bantal harus disimpan di posisi yang tepat, ditengah dekat pinggir, dengan arah yang sudah ditentukan. Coba perhatikan, ternyata hal sederhana ini tampaknya menjadi rumit. Selama kamp militer ini, aku perhatikan ada yang sungguh-sungguh melakukannya, ada juga yang setengah hati. Setengah hati karena mereka melakukan ini untuk sebatas kewajiban semata. Aku termasuk golongan yang kedua.

Kamp militer berakhir, kami pun masuk ke kamp lain yang lebih longgar, meski masih agak ketat dalam hal peraturan keluar masuk kamp. Dari segi suasana, jelas kamp ini lebih enak daripada kamp militer karena aku dan 107 teman-temanku seperti berada di lumbung padi. Makan-minum disini enak dan kami pun mendapatkan fasilitas hotel (karena memang kamp ini berada di hotel).
Salah satu fasilitas yang didapat adalah room-services, dimana kamar kami akan dibersihkan oleh petugas, lantai disapu, handuk diganti, selimut ditukar, pakaian kotor diambil untuk dicuci dan juga termasuk tempat tidur akan dirapihkan. Tinggalkan kasur dalam keadaan berantakan di pagi hari lalu voila.. sorenya kasur akan rapih karena sudah ada yang membereskan. Sejujurnya ini yang membuat orang menjadi terlena untuk tidak membereskan tempat tidur. Hal sederhana ini, menjadi terlupakan bagi orang yang menganggap remeh hal ini.
***

Perjalananku berlanjut, mengerucut bersama seorang temanku, kami ditempatkan di sebuah tempat sepi di jalur pantura. Disini kami tinggal di sebuah hotel, kebetulan ada fasilitas room-services. Sejujurnya aku dan temanku pada fasa ini tidak pernah menata tempat tidur. Kami meninggalkan kasur dalam keadaan selimut berantakan. Toh nanti ada yang membereskan, itu yang aku pikirkan.

Aku bersyukur Tuhan memberikan manusia akal untuk berpikir. Ternyata setelah kupikir-pikir ulang, aku seperti sedang melemahkan diriku sendiri. Aku seperti membuat penyepelean dalam diriku dan itu bisa berbahaya karena merambat ke hal yang lain yang lebih besar. Orang-orang menyebut ini dengan istilah menjadi permissive.
Sejatinya membereskan tempat tidur adalah hal kecil yang sederhana. Kenapa? Karena tidak perlu lebih dari satu orang untuk membereskannya, kasurmu tentunya bukan kasur seorang raksasa yang panjang dan lebar. Membereskan kasur bisa dilakukan sendiri. Berapa lama waktu yang dibutuhkan. Jika ada 100 kasur yang perlu dibereskan, tentunya itu akan memakan waktu berjam-jam. Namun percayalah, itu tidak akan makan waktu lebih dari 5 menit.

Bisa dilakukan sendiri dan memakan waktu kurang dari 5 menit, apakah kamu sepakat dengan saya? Jika tidak sepakat maka seyogyanya standar kasur yang kita pakai berbeda. Berhenti saja baca tulisan ini. Hehe. Namun, jika anda sepakat dengan saya, maka anda juga sepakat bahwa ini merupakan hal sederhana.
***

Sejenak mungkin kita berpikir, apa gunanya membereskan kasur? Beberapa jawaban bisa diberikan seperti, untuk sukses dalam perkara-perkara besar tentunya kita harus setia dalam perkara-perkara kecil. Kita juga mendapat pelajaran bahwa hal kecil ini merupakan suatu modal awal untuk beranjak ke hal yang lebih besar. Aku bahkan mendapat jawaban yang lebih meyakinkan lagi, yaitu:

Membereskan tempat tidur akan memberikan kepercayaan diri bagi pelakunya. Membereskan tempat tidur termasuk beberapa tugas pertama yang orang lakukan dalam memulai hari. Menyelesaikan tugas pertama ini dengan baik, alias membereskan kasur sampai rapih dan enak dipandang akan memberikan kepercayaan diri.

Coba pikirkan sendiri, kepercayaan diri ini akan timbul karena sudah menyelesaikan tugas ini dengan baik. Lalu coba lakukan sendiri, ketika kamu membereskan tempat tidurmu sendiri dan melihatnya dalam keadaan rapih? Pasti senang bukan? Rasa senang ini akan menambah kepercayaan diri dan itulah modal awal untuk mengawali kesuksesan selanjutnya di hari itu.

Ternyata hal kecil ini bisa berdampak besar.

Sampai sini sejujurnya aku malu pada diriku sendiri karena aku masih menyerahkan urusan ini kepada room-services. Suatu perubahan harus segera dilakukan, bukan mencari suatu pembenaran karena alasan-alasan klise seperti terlalu sibuk atau malas.

Kau terpelajar, cobalah bersetia pada kata hati. (Pram)

Kesimpulan pada poin pertama, aku mendapat pelajaran bahwa membereskan tempat tidur bisa menjadi modal awal yang mungkin bisa mengubah satu harimu menjadi lebih percaya diri melakukan hal-hal lain yang lebih besar.

Seperti kata pepatah, hal-hal besar dimulai dari hal-hal kecil. Jadikanlah ini suatu kebiasaan. Kebiasaan akan menentukan suatu karakter. Karakter akan berpengaruh pada kesuksesan seseorang.

Baiklah, itu satu hal sederhana yang kudapat, perjalanan mencari untaian makna masih akan terus berlanjut.

(Bersambung)

Jalan Panjang Menuju FM (Part 3)

Tulisan ini adalah sambungan dari Jalan Panjang Menuju FM (Part 2). Saya wajibkan anda untuk membaca berurutan dari Part 1 agar tidak terjadi salah persepsi.

Sedikit review lagi, sebelumnya di tulisan pertama sudah membahas mengenai percaya diri dan ditulisan kedua adalah tentang brand&legacy. Sebelum lanjut ke tulisan ketiga, saya sedang berpikir mengenai sudah sejauh apa keinginan saya untuk mencapai cita-cita saya. Jika saya sudah merasa mantap, maka bagian ketiga ini akan mengulas bagian tersulit.

You (can’t) Pleased Everyone.
Dalam menjalani roda kehidupan ini, tak dapat dipungkiri bakal terjadi gesekan-gesekan dengan pihak lain. (Hey coba ingat teori fisika waktu  SMP, roda bisa berjalan salah satunya juga karena gesekan). Namanya juga gesekan, pasti bakal jadi panas (heat), bikin si roda jadi aus dan sering juga menghambat laju kecepatan si roda. Demikian juga hidup, setiap orang pasti punya keinginan dan tujuan masing-masing. Hal ini akan membawa orang-orang pada pilihan-pilihan. Sialnya, pilihan-pilihan ini sering berdampak pada orang lain. Contohnya: jika setelah lulus SMA kamu memilih Teknik Mesin ITB lalu diterima disitu, maka pilihan kamu itu telah menggugurkan orang lain yang juga mendaftar di jurusan yang sama namun belum beruntung.
Cepat atau lambat tentunya saya dan kamu (atau kita) harus mengambil keputusan atas pilihan-pilihan hidup ini. Aturan paling mendasar adalah, pada akhirnya kita tidak bisa memuaskan semua orang dengan keputusan yang kita ambil. Langkah yang kita ambil selanjutnya pasti ada yang suka ada juga yang tidak suka. Sudahlah, suka atau tidak suka, keputusan harus tetap diambil, jika tidak dilaksanakan dengan sepenuh hati nanti hanya membawa kepada penyesalan.
Suatu hari nanti, jika menjabat suatu posisi strategis, tentunya akan ada suatu wewenang untuk membuat suatu keputusan. Seorang pemimpin tidak boleh ragu, haruslah percaya diri, bahkan untuk mengambil suatu keputusan yang tidak populer.
Karena dana yang terbatas, jika Daendels tidak memaksakan kerja rodi maka tidak akan ada Jalan Raya Pos. Jika waktu kampanye Perang Pasifik di Perang Dunia ke-2 Jendral Douglas McArthur tidak mundur ke Morotai dan tetap memaksakan bertahan di Filipina, maka kata-kata “I shall return” tidak akan terucap dan mungkin pasukan amerika akan habis ceritanya. (Coba baca buku Perang Pasifik karya P.K. Ojong, terbitan Gramedia Pustaka)
Tanpa mengeyampingkan arti korban-korban kerja rodi dan dengan segala hormat saya kepada mereka yang telah menjadi korban,pendapat saya pribadi berkata bahwa keputusan Daendels memang kejam, tapi jalan raya pos bisa ada sampai sekarang.
Keputusan Douglas McArthur untuk mundur memang terdengar jelek, seperti seorang pengecut, namun ternyata sang Jenderal bisa kembali menghimpun kekuatan dan bahkan bisa menghantam Jepang sampai ke salah satu pusat kekuatan terbesar kekuatan Jepang di Benteng Iwojima. (Sekali lagi coba baca buku Perang Pasifik karya P.K. Ojong, terbitan Gramedia Pustaka).
Kawanku, suka atau tidak suka kita orang akan menilai kita dari keputusan yang kita buat. Ini adalah bagian paling sulit karena penilaian orang akan berbeda-beda. Namun sekali lagi, kita tidak bisa membuat keputusan yang menyenangkan semua orang. Seiring berjalannya waktu, untuk memulai jalan panjang menuju FM, saya harus menyadari ini dan membiasakan ini supaya nanti ketika kesempatan membuat keputusan itu datang, saya tidak perlu menjadi peragu. Yakin.

(bersambung)

Jalan Panjang Menuju Field Manager (Part 2)

Tulisan ini adalah sambungan dari Jalan Panjang Menuju FM (Part 1). Saya wajibkan anda untuk membaca berurutan dari Part 1 agar tidak terjadi salah persepsi.

Sedikit review tentang tulisan sebelumnya, saya menekankan tentang percaya diri yang dipunyai oleh senior-senior saya zaman dahulu. Ya.. itu terjadi di zaman dahulu sedangkan saya hidup di zaman sekarang. Zaman dahulu dan zaman sekarang tentunya berbeda. Meskipun demikian saya yakin bahwa sikap percaya diri tidaklah berubah. Rasa percaya diri itu sebenanya merupakan hal kecil, namun bisa membawa perbedaan yang besar, terutama bagi hidup seseorang.

Branding Your Name, Create Your Legacy

Mau tidak mau dampak rasa percaya diri akan membuatmu dikenal orang. Sekarang pertanyaannya adalah kamu mau dikenal dengan kesan baik atau dengan kesan buruk?  Jika mau pilihan yang pertama maka asahlah diri dengan berbagai kemampuan yang akan membawamu ke kesan yang baik. Cerdas, jago analisis dan pintar mengoperasikan alat, ditambah lagi dengan memiliki kemampuan manajerial yang baik, semua tampak bagus kelihatannya. Namun apalah arti itu semua jika sekitarmu saja tidak tahu itu. Maka dari itu rasa percaya diri diperlukan untuk memoles itu semua.

Baiklah sekarang saya akan agak sedikit melenceng sedikit dari topik awal. Jika anda mengambil kuliah manajemen, baik itu S1 atau S2, maka akan ada suatu mata kuliah mengenai BRAND. Banyak juga buku-buku manajemen yang membahas mengenai THE POWER OF BRAND. Apa itu BRAND?

BRAND, di Indonesia dikenal dengan nama lain merek. Suatu benda yang sama dapat dihasilkan oleh produsen yang sama, namun yang membedakannya adalah merek yang tercapkan disitu. Merek atau BRAND berbicara mengenai kualitas. Suatu benda atau barang yang memiliki kualitas yang bagus pasti akan berbekas di alam bawah sadar manusia. Emang dasar alam bawah sadar manusia itu pengennya yang ga ribet, biasanya orang lebih ingat mereknya dibandingkan dengan bendanya sendiri, jadinya seperti menggeneralisasi barang tersebut dengan merek itu.

Pernah dengar nama Indomie, Aqua, Odol?

Orang lebih mudah menyebut nama Indomie dibanding dengan mie instan. Lebih sering menyebut aqua untuk menggantikan istilah air mineral. Tau ga sebenarnya Odol itu adalah nama merek pasta gigi di zaman dulu ketika orang tua saya masih kecil. Ketiganya merupakan brand yang sudah menjadi pengganti bagi nama benda yang dilabelinya.

Baiklah, sekarang bayangkan bahwa nama saya dan anda adalah semua merek, sebuah brand. Saya sendiri menginginkan ketika orang mendengar nama saya, hutatoruan, orang langsung mengingat kepada kualitas bagus yang saya miliki. Seperti subjudul yang saya tulis, itulah namanya Branding Your Name. Cara untuk itu gak usah ditanya lagi karena pasti kamu pasti sudah tahu. Secara umum kamu harus percaya diri untuk menjual kualitas yang kamu punya. Hey lihat, kata “percaya diri” terbahas lagi. Yah, memang untuk melakukan hal ini, kamu harus cukup percaya diri, karena dengan percaya diri orang bakal mengenal diri kamu dan tahu kapasitas kamu sampai sejauh apa.

Kata-kata terakhir saya adalah mengenai kapasitas. Kapasitas diukur dari pencapaian yang kamu buat. Orang menyebutnya dengan kata achievement, namun saya lebih suka dan tertarik dengan kata “warisan” atau legacy.  Secara umum, pencapaian lebih fokus ke diri sendiri sedangkan warisan tidak hanya dihasilkan oleh diri sendiri namun juga bisa dinikmati oleh orang lain.

Tulisan saya sebelumnya membahas mengenai Herman Willem Daendels. Kalo mau baca lebih dalam mengenai dia di internet, terlepas dari kekurangan yang dia miliki di mata orang lain, nama dia membuat Napoleon mempercayainya untuk memimpin 3 divisi tentara dalam penyerbuan ke Rusia. Warisan yang HWD tinggalkan masih ada sampai kini, yang paling terasa tentunya adalah Jalan Raya Pos.

Intinya adalah saya, (dan kamu jika mau) harus bisa Branding The Name, Create The Legacy. Apa hubungannya dengan kisah jalan panjang menuju FM yang akan saya mulai? Simpelnya seperti ini, posisi-posisi strategis dalam suatu perusahaan tidak akan diberikan secara mudah kepada orang-orang yang keliatannya belum berkompeten. Namun ketika namamu sudah terkenal (karena kualitas), terlebih lagi kamu berhasil membuat suatu “warisan” yang bagus di tempatmu bekerja saat ini, tentunya bos-bos yang diatas tidak akan ragu untuk mempercayakan posisi strategis itu kepada saya atau kamu yang punya brand bagus dan warisan yang mumpuni.

(bersambung)

 

Jalan Panjang Menuju Field Manager (Bagian 1)

Tulisan ini adalah buah pemikiran ketika seorang manusia bermimpi besar yang sudah menyadari sebagian potensinya, sedang berusaha merangkai makna dalam sisa hidupnya. Dibuat secara berseri 4 bagian, semoga anda tidak bosan membaca, dan semoga bisa memberi sedikit bermanfaat jika ada. Komentar baik berupa masukan dan kritik akan saya buka seluas-luasnya.

Prologue

Hampir 4 minggu saya berada di suatu tempat bernama Subang, Jawa Barat, dimana kemewahan adalah hal yang langka namun anda dapat menemukan keramahan di setiap tempat disini. Tugaslah yang membawa saya kesini, meskipun hati saya yang terdalam sudah amat jenuh dengan tanah jawa. Bukan bosan yang negatif, saya hanya merasakan bosan berkutat di sebuah provinsi dimana hampir 98% hidup saya habiskan di bumi Parahyangan.

Subang bukan tempat yang tidak buruk-buruk amat, hanya saja infrastrukturnya belum merata. Di pusat kotanya mungkin masih bagus, namun jika anda beranjak keluar radius 3km semua bakal berubah dan anda seperti merasa di tempat berbeda. Pusat keramaian berganti dengan sawah-sawah dan kebun-kebun sepi. Diantara sawah-sawah tersebut terdapat suatu daerah yang jauh dikedalaman sawah-sawah tersebut terdapat minyak dan gas, disitulah saya bertugas sekarang.

Minggu pertama di tempat ini saya bertemu dengan pekerja-pekerja disini, yang paling berkesan tentunya bertemu dengan orang nomor satu di lapangan ini, yaitu seorang FIELD MANAGER (FM). Kesan tegas dan berkarakter saya temui dalam diri FM ini. Jiwa saya memuji dalam hati dan dalam pikiran saya yang paling dalam saya menyimpan tekad untuk seperti dia, mencapai pucuk FM.

Tentunya tidak mudah untuk mencapai itu. Seperti sebuah segitiga, posisi untuk mencapai pasti akan mengerucut sehingga banyaklah orang bersaing menuju keatas. Oleh karena itu saya namakanakis ah yang akan saya rintis sekarang adalah “Jalan Panjang Menuju FM”.

Behaviour Number One: Confident

Sebelum memulai kisah tentang impian menuju FM, saya kembali mengingat masa-masa akhir kuliah dahulu. Sudah hampir dua tahun sejak tugas akhir saya dinyatakan selesai di tanggal 29 Februari 2012. Tanggal yang cantik, yang berulang setiap 4 tahun sekali, momen ketika dosen mengucapkan kata-kata sakti, silahkan kamu maju ke sidang sarjana. Namun semua hanyalah sebuah cerita yang hanya menjadi sisa-sisa kenangan mahasiswa. Sekarang saya menyesal, hampir dua tahun saya lalui namun kelakuan saya tidak mencerminkan seorang sarjana. Untuk saat ini saya masih merasa seperti mahasiswa, bukanlah seorang sarjana. Mengapa saya bilang seperti itu?

Mudah saja, cara paling gampang dalam mengukur sesuatu adalah dengan dengan membandingkan dengan sebuah standar. Standar ini bisa dijadikan sebagai alat pengukuran. Panjang sebuah tongkat bisa diukur dengan standar meter, standar meter ini terdapat di alat ukur seperti penggaris. Demikian juga saya mengukur kapasitas diri saya dengan mempelajari kisah-kisah senior-senior saya, yaitu para Insinyur dan Sarjana Teknik yang namanya tercatat dengan tinta emas, dari mulai Ir.Soekarno dan insinyur sipil lainnya, Ir.Samaun Samadikun dan insinyur elektro lainnya, Ir.Wiranto Arismunandar, Ir.Filino Harahap dan insinyur mesin lainnya, Ir.Karamoy dan insinyur teknik kimia lainnya yang pernah saya baca kisah hidupnya. Nama-nama diatas adalah nama-nama alumni dari almamater saya ketika masih bernama FTUI cabang Bandung. Banyak yang bisa saya dapat dari mereka, terutama sikap mereka yang melekat dalam diri karena label insinyur yang mereka bawa.

Lalu apa yang saya dan mereka sama-sama punyai? Gelar sarjana teknik (atau insinyur) dan sama-sama pernah berkuliah di kawah chandradimuka yang sama.

Jadi apa yang mereka punyai dan tetapi tidak saya punyai? Kelakuan dan sikap sebagai sarjana teknik. Terlepas dari kecerdasan yang mereka bawa, saya melihat satu sikap yang sngat menonjol, bahwa mereka sangat percaya diri. Pernah lihat transkrip Ir.Soekarno waktu masih di TH Bandung? Kalau dikonversikan ke nilai sekarang itu setara dengan nilai C. Beliau tetap lulus sebagai sarjana sipil, dan nilai lebih yang beliau punya adalah beliau menunjukan dirinya terpelajar. Untuk menunjukan itu, diperlukan: rasa percaya diri.

Saya pikir percuma jadi sarjana teknik kalau tidak mencerminkan seorang sarjana teknik. Percuma kalau cerdas tapi ragu-ragu untuk mengungkapkannya. Orang biasa tapi percaya diri akan lebih dihargai daripada orang cerdas namun peragu , tidak percaya diri.

Kawan, saya bertekad untuk memulai kisah perjalanan menuju FM. Namun ternyata masih ada penghambat bagi jalan itu: rasa percaya diri yang kurang. Sebelum kisah ini hanya menjadi sebuah kisah yang gagal, saya harus memperbaiki dahulu kelakuan ini.

(bersambung)

Bingung Pilih Judul

Jika anda adalah orang yang tidak pernah kembali ke masa lalu, maka pastilah anda adalah orang yang bahagia. Mengapa? Karena itu menandakan bahwa anda tidak pernah dan tidak akan pernah menyesali sesuatu yang pernah terjadi atau bahkan akan terjadi. Ngomong-ngomong tentang itu, saya punya 3 poin menarik yang bakal diakhiri dengan suatu kesimpulan hidup. Mari simak.

***

Poin Pertama

Suatu hari seorang kawan berkata kepada saya mengenai hal yang baru saja dia alami dalam hidupnya. Dia bercerita panjang lebar, ditambah dengan cara bicaranya yang khas orang batak (stereo banget, menggelegar membahana), saya jadi sedikit terintimidasi. Bukannya apa-apa, tapi dia tidak memberikan sedikit pun buat saya menimpali, yah ujung-ujungnya saya seperti dipaksa mendengarkan konser. Konser kata-kata sendu, karena dia baru saja mengalami musibah. (Lebih tepatnya musibah hati, epic sih).

Hampir sejam saya mendengarkan dia bertutur kata. Andaikan ada popcorn, tentunya saya bakal dengerin dia sambil makan popcorn. Andaikan ada bantal, tentunya saya masih akan mendengarkan dia sambil tidur-tiduran (terus pura-pura tertidur). Andaikan ada Finalis Gadis Sampul lewat, tentunya.. ya saya lebih milih ngejar Finalis Gadis Sampul. Oke, intinya kawan saya ini mencurahkan semua yang ingin dia curahkan ke suatu penampungan limbah b3 (berbahaya, beracun, dan berbudistandar) yang tidak lain adalah saya sendiri. Saya bukan akan membahas mengenai apa yang dia alami karena terlalu kompleks. Sama seperti menurunkan rumus Phytagoras pakai huruf braille atau seperti baca buku Mekanika Fluida tapi sambil sikap lilin di depan patung Napoleon.

th (3)

buku mekflu zaman kuliah dulu

Memang sih ceritanya kawan saya itu kompleks, saya sendiri bukan mau membahas itu, akan tetapi inti dari pengalaman kawan saya itu berakar pada satu poin. Penyesalan.

Ini sih kompleks gedung.

Ini sih namanya kompleks gedung.

ini baru kompleks a.k.a rumit

ini baru kompleks a.k.a rumit

Jadi poin pertama adalah penyesalan.

***

Poin Kedua

Saya tidak tahu definisi penyesalan secara pasti, lalu apakah saya pernah menyesal? Saya berbohong jika saya bilang saya tidak pernah menyesal. Kata orang, penyesalan selalu datang terlambat. Penyesalan selalu datang di akhir, katanya. Bayangkan ada suatu pesta jamuan yang diadakan oleh seorang Tuan Rumah. Pesta dimulai dengan meriah. Semua tampak senang. Saat pesta sudah mulai usai, tamu-tamu sudah pulang, kursi dan meja bersiap untuk dirapihkan, makanan, apalagi itu, sudah keburu habis. Biasanya sih karena yang dateng pada ngebungkusin makanan. hehe.

Tuan rumah senang karena pesta sepertinya berjalan sukses dan lancar jaya. Ketika tuan rumah tinggal bersiap-siap cuci piring, tiba-tiba datanglah orang asing mengacaukan semuanya. Orang asing itu bernama penyesalan. Mood si Tuan Rumah berubah 179,98 derajat. Tuan rumah telah membuat suatu kesalahan yang membuat si orang asing bernama penyesalan itu datang. Dapat poin yang ingin saya sampaikan? Penyesalan biasanya diawali karena suatu kesalahan. Itu adalah poin kedua.

***

Poin Terakhir

Berbicara mengenai kesalahan, saya punya cerita tentang kesalahan. Waktu saya kelas 3-6 SD, pelajaran yang paling saya tidak sukai adalah Bahasa Indonesia (juga Bahasa Inggris). Maka dari itu jangan heran kalau kemampuan berbahasa dan berpuisi saya masih sangat minim, (jangankan buat bikin puisi, buat bikin kalimat baku aja masih belepotan, zzz, tapi itu dulu sih.) Hal yang paling sering guru saya lakukan ketika pelajaran berlangsung adalah belajar membuat kalimat. Guru saya selalu menerangkan bahwa suatu kalimat yang baik itu harus mengandung S-P-O-K. Saya selalu bingung menentukan Subyek, Predikat, Obyek dan Keterangan yang cocok.

Suatu hari, guru saya sedang membahas mengenai beberapa kata-kata. Beliau menunjuk beberapa orang untuk membuat suatu kalimat dengan kata-kata yang beliau sebut. Tiba giliran saya, lalu beliau menyebutkan sebuah kata yang saya masih ingat sampai sekarang.

Guru : “ Tatoru, coba buat kalimat dari kata mencegah!”

Saya : (noleh ke samping) “emmm..”

Guru : “Kamu jangan kaya Pentium 2 kena virus.”

Saya : (Bingung, gak ngerti apa maksudnya Pentium 2 kena virus, tapi akhirnya setelah saya besar saya ngerti juga, prosesor paling cepat saat itu adalah Pentium 4. Artinya bahwa Pentium 2 sudah ketinggalan zaman. Udah mah ketinggalan zaman, kena virus pulak. Makin leletlah dia kerja.) “….”

Guru : (Mencoba mengulangi) “ Tatoru, coba buat kalimat dari kata mencegah!”

Saya : (Masih bingung nentuin S-P-O-K, tetiba jadi teringat suatu peribahasa) “Lebih baik mencegah daripada mengobati.” (Dalam hati saya udah takut karena merasa uda pasti salah. Udah pasti kena bentak karena gak sesuai SPOK)

Guru : (terdiam, berpikir) “…”

Guru : “Kalimat yang bagus. Pemilihan peribahasa yang tepat. Oke lanjut ke kata lainnya.” (Lalu nunjuk ke siswa lain)

Saya : (terdiam juga, gak percaya kalo baru aja dipuji ama guru).

Saat itu saya gak percaya bahwa saya dipuji oleh guru saya. Bayangkan, kalimat yang saya buat gak mengandung kaidah SPOK namun ternyata malah dibilang bagus. Sampai hari ini pun saya masih heran, dan karena itu hidup saya sedikit lebih baik setelah itu. Pujian memang bisa mengubah seseorang.

Anda pasti bertanya-tanya, apa hubungan cerita saya diatas dengan kesalahan? Bahkan saya tidak dianggap melakukan kesalahan oleh guru saya.

Yah terlepas dari itu, saya mendapati sesuatu penting dari cerita diatas. Poin ketiga adalah, mencegah lebih baik daripada mengobati.

***

Three-Points-Shoot

Penyesalan. Kesalahan. Mencegah. Tiga poin yang saya mau tekankan. Mari bicara mengenai poin satu dan dua, yaitu penyesalan dan kesalahan. Penyesalan bukanlah sesuatu yang bagus. Ia tidak layak untuk dinanti dan diharapkan. Mengapa bisa ada penyesalan? Penyesalan muncul karena adanya suatu kesalahan yang pernah dibuat. Coba lihat, pada dasarnya ini hanyalah sebuah hubungan sebab akibat yang sederhana. Sederhana, yaitu tentang “si sebab” dan “si akibat”.

Selanjutnya saya mau menelaah mengenai cara bagaimana agar “si akibat” tidak datang. Bagaimana caranya? Ya caranya adalah dengan mencegah “si sebab” datang. Tanpa “si sebab” maka “si akibat” tidak akan datang.

Sekarang, siapakah “si sebab”? Kesalahan.

Siapakah “si akibat”? Penyesalan.

Bagi saya, penyesalan adalah sesuatu yang ingin saya hindari jauh-jauh. Jangankan untuk datang terlambat, malah kalau bisa sih, tidak datang sama sekali. Jadi cara supaya si penyesalan agar tidak datang adalah dengan mencegah si kesalahan. As simple as that.

***

Double Hits & Dampak Sistemik

Sejauh ini saya telah berpikir mengenai bagaimana supaya tidak mengalami yang namanya penyesalan. Namun, bagaimana jika penyesalan itu sudah terlanjur datang?

Akhir-akhir ini saya beberapa kali membuat kesalahan. Tidak masalah sih kalau kesalahannya hanya berdampak sistemik pada diri saya sendiri (misalnya: saya lupa nge-charge smartphone di malam hari sehingga besok paginya lowbat, yang rugi kan saya karena besoknya saya jadi gak bisa main hape kalo lagi bosen di kelas. haha).

Yang jadi masalah besar adalah ketika kesalahan itu berdampak sistemik kepada orang lain. Ketika saya tertidur sehingga lupa untuk membukakan pintu bagi kawan sekamar, itu adalah kesalahan fatal. Ketika saya tertidur padahal ada janji makan dengan orang penting,  itu juga lebih fatal. Mengapa ini menjadi masalah besar? Karena membangkitkan suatu kosa-kata baru yang bernama “kecewa” bagi mereka. Dan ingat, kecewa selalu berteman baik dengan rasa tidak nyaman. Rasa tidak nyaman itu tidak disukai oleh setiap orang.

Terlihat jelas sekarang, saya mendapatkan dua penyesalan, dua pukulan, double hits.

Penyesalan pertama adalah karena saya sudah melakukan suatu kesalahan. Sejujurnya beberapa kawan saya bilang bahwa saya adalah orang yang perfeksionis, dalam artian yaitu sangat hati-hati dan tidak suka berbuat kesalahan serta tidak mentoleransi adanya kesalahan. Dengan sifat seperti itu, ketika akhirnya saya membuat suatu kesalahan, tentunya itu suatu malu buat saya. Bagaimana mungkin saya meminta yang hampir sempurna ketika saya sendiri tidak berusaha untuk melakukan yang sempurna. It was a shame.

Penyesalan kedua adalah karena saya telah mengecewakan orang. Siapa sih orang di dunia ini yang mau dikecewakan? Saya tahu bagaimana rasanya kecewa, dan itu tidak enak. Tentunya orang lain juga merasakan hal yang sama tidak enaknya, bahkan bisa lebih. Oleh karena itu saya merasa menyesal sekali karena jika telah mengecewakan orang.

Satu penyesalan saja sudah membuat saya merasa tidak enak dalam beberapa waktu, apalagi dua. Bukannya saya larut dalam penyesalan, namun ada kalanya saya merasa tidak nyaman pada diri saya sendiri karena telah membuat orang lain merasa tidak nyaman dalam suatu waktu tertentu (Bisa menit, jam, hari atau bahkan bulanan bagi yang ekstrem).

Jika penyesalan itu sudah terlanjur datang, maka itu haruslah dihadapi dengan bijak. Setiap orang tentunya punya kebijakan (policy) masing-masing menurut standar kelakuan hidupnya. Setiap kali menyesal, saya selalu menyesal sangat dalam. Saya sangat memerlukan itu supaya saya bisa mematri dalam diri saya untuk tidak mengulanginya lagi, bukan hanya sekadar penyesalan sesaat yang hilang seperti nitrogen cair yang menguap akibat titik didihnya yang sangat rendah, tapi harus benar-benar bisa saya ingat supaya tidak diulangi kedepannya.

Penyesalan adalah sesuatu yang sangat saya hindari karena butuh waktu lama buat mematrinya kembali supaya tidak diulangi lagi kedepannya. Saya sadar bahwa waktu adalah suatu kemewahan bagi saya karena saya tidak punya waktu banyak. Maka dari itu, sekali lagi, saya benci penyesalan.

***

C’est la Vie

Akhir-akhir ini Jakarta tempat saya tinggal sementara sekarang ini sempat dilanda banjir. Hujan yang terus-menerus di daerah sekitar ibukota, ditambah lagi dengan posisi ibukota yang berada di dataran rendah membuat banjir datang dengan mudah. Lupakan banjir, saya mau membahas mengenai hujan. Hujan terjadi dari kumpulan awan. Hujan dan awan, dari sini imajinasi saya mulai menggeliat. (Kayak anak kucing menggeliat-geliat. Lucu kan? Tapi kalo yang menggeliat itu platypus, pasti aneh.)

th

anak kucing geliat-geliut :3

Mari bicara tentang awan dan hujan. Seandainya hujan bisa berkata-kata pada awan, mungkinkah hujan akan merasa menyesal karena telah menjadikan awan menghilang? Apakah awan akan menerima penyesalan si hujan? Saya tidak tahu.  Saya tidak bisa menerka apa isi hati si hujan. Sama persis seperti hati manusia, saya tidak bisa menebak secara pasti apa yang orang lain rasakan jika dalam kondisi seperti itu. Hal ini yang sering membuat saya berhenti sejenak dan agak lama berpikir dan menganalisis, bahkan hingga terlalu dalam sampai-sampai batas delineasinya susah ditentukan. Namun, hidup harus jalan terus dan ia tidak mau menunggu lama. Orang prancis bilang, c’est la vie. Sama seperti awan dan hujan tadi, kelak air hujan pun akan berkumpul lalu masuk ke sungai.

Sungai mengalir lalu bertemu lagi dengan sungai yang lebih besar. Sungai yang besar itu pun terus mengalir dan tidak kembali lagi ke tempat sebelumnya. Ia juga tidak menunggu. Sungai besar ini sudah sangat dirindukan oleh laut. Keduanya akan bertemu di suatu tempat bernama muara. Di laut, air akan terpapar sinar matahari tingkat tinggi lalu terjadi penguapan. Titik-titik uap itu akan berkumpul lagi dan terbentuk lagi awan, entah itu awan nimbus atau cummulonimbus, tergantung pengaruh tekanan dan waktu terbentuknya. Awan-awan ini akan terbawa angin darat ke suatu tempat dan sampai pada waktunya ia akan terkondensasi lagi menjadi titik-titik air. Itulah siklus air. Terus terjadi dan tidak berhenti. Seperti itulah juga siklus kehidupan. Bahagia atau tidak dalam menjalaninya, itu pilihan kan?

🙂

1. Renungan Tentang Ulang Tahun

Ulang tahun selalu jadi sesuatu yang spesial, 1 hari diantara 365 hari yang ada, hari dimana hari lahir itu diulang lagi. Bagi kebanyakan orang, ulang tahun menjadi hal yang menyenangkan, namun bagi beberapa orang, biasa saja. Saya termasuk kaum yg kedua.

Bagi saya, ulang tahun sama seperti hari lainnya. Saya tidak memaknai ulang tahun seperti kebanyakan orang lain. Namun di ulang tahun kemarin saya sempatkan untuk merenung secara dalam lalu menyadari suatu hal.

Saya harus mengakui bahwa hidup saya dikelilingi oleh orang2 hebat serta gila. Saya bisa setuju dgn perkataan mereka, tidak setuju dgn mereka,
mengagumi atau bahkan menghina mereka. Namun satu-satunya yang tidak bisa saya lakukan adalah mengabaikan mereka. Sedikit banyak mereka telah berpengaruh dalam 23 tahun hidup saya yang singkat ini.

Ulang tahun memang hari yang biasa bagi saya, tidak ada yang spesial, setiap hari adalah special. 🙂

Soekarno yang Saya Kagumi

Berhubung sekarang adalah Hari Kesaktian Pancasila, maka saya akan bercerita sedikit mengenai sosok dibalik Pancasila, Soekarno.

Image

Siapa yang tidak kenal Soekarno. Sosok satu ini memiliki sisi yang tidak habis untuk dikupas, tidak pernah padam untuk dijadikan panutan dan pelita. Terlalu berlebihankah? Tidak juga, karena sebagai seorang Indonesia, Soekarno memiliki pemikiran jauh kedepan melampaui rata-rata pemikiran orang Indonesia pada saat itu.

Tak perlu panjang lebar lagi, saya sangat suka mengenai pemikiran beliau tentang rencana besarnya terhadap Indonesia.

Food, Water, Energy

Dalam sebuah cerita yang saya baca di laman facebook tentang Soekarno, Soekarno tahu bahwa masa depan dunia ditentukan oleh 3 hal, dan siapa yang bisa menguasai 3 hal itu akan menjadi Negara terdepan. Makanan, air dan energi. Potensi makanan dan air dipunyai oleh Indonesia. Kalau tidak ada pun, tentunya bisa diolah dan dihasilkan. Setiap Negara mempunyai potensi yang sama mengenai dua hal ini selama masih punya luas wilayah untuk diolah menjadi lahan pertanian. Air bisa didapat dari sungai atau danau alami maupun danau buatan yang menampung air hujan. Baiklah tinggalkan pembahasan mengenai ini karena potensi ini memiliki peluang yang sama, namun bagaimana dengan energy?

Saya sangat kagum akan pemikiran Soekarno saat itu. Energy diperlukan untuk melakukan gerak. Pada saat itu energy diperoleh dari minyak bumi. Kenapa mintak bumi? Karena saat itu penggunaan motor bakar sangat dominan, motor bakar memerlukan minyak sebagai tenaga. Soekarno melihat bahwa siapa yang mempunyai minyak, Negara itu mempunyai kuasa.

Tidak seperti Negara lain, Indonesia memiliki potensi minyak bumi. Kenapa? Karena sebelum negeri ini merdeka, sudah dilakukan beberapa pengeboran minyak dan berhasil. Saat itu masih orang asing yang melakukannya karena selain orang Indonesia belum mengerti teknologinya, orang Indonesia pun masih dijajah. Bahkan setelah merdeka pun kegiatan minyak bumi ini masih dilakukan asing.

Jangan Gali Sumber Daya Alam Kita Sebelum Para Insinyur-Insinyur Kita Bisa Menggalinya

Mana ada orang asing yang bakal 100% peduli dengan Indonesia. Mereka mengambil keuntungan dan mungkin hanya sedikit keuntungan itu yang diberikan kepada negeri ini. Oleh karena itu harus orang Indonesia sendiri yang menggalinya dengan bendera Indonesia. Tapi apakah itu bakal menjamin insinyur Indonesia akan 100% peduli dengan Indonesia? Tidak juga sih, bisa saja mereka malah sama seperti asing tadi, pada akhirnya hanya mementingan kepentingan pribadi atau kelompok diatas kepentingan Negara. Oleh karena itu, perlu ditekankan jiwa nasionalisme. Lihat pidato-pidato Soekarno, selalu berapi-api dan membangkitkan jiwa nasionalisme. Orang asing dengar pidato Soekarno belum tentu tergugah, orang negeri sendiri? Kalau mereka terpelajar tentunya mereka akan berpikir sama dengan Presiden kita pertama. Strategi yang jitu dari pemikiran Soekarno.

Namun masalah lain muncul, orang Indonesia belum punya teknologi. Soekarno tahu itu, maka beliau mengirim orang terbaik negeri ini untuk berguru di luar negeri, sama seperti Jepang pada saat Restorasi Meiji. Diharapkan merekalah yang akan menjadi pioneer dalam pembangunan bidang teknologi dalam negeri. Namun saying, rencana ini keburu kandas karena Soekarno turun pada tahun 1966, sebelum mimpinya akan Indonesia terwujud.

Tulisan ini hanya sebagian kecil dari yang saya suka dari Soekarno. Pemikirannya yang visioner, jauh kedepan, menggugah saya untuk bisa seperti itu. Nama Soekarno harusnya menjadi cambuk buat kita, bukan hanya menjadi sebuah nama yang yang kita ingat sebagai nama airport atau nama jalan saja.