Bingung Pilih Judul

Jika anda adalah orang yang tidak pernah kembali ke masa lalu, maka pastilah anda adalah orang yang bahagia. Mengapa? Karena itu menandakan bahwa anda tidak pernah dan tidak akan pernah menyesali sesuatu yang pernah terjadi atau bahkan akan terjadi. Ngomong-ngomong tentang itu, saya punya 3 poin menarik yang bakal diakhiri dengan suatu kesimpulan hidup. Mari simak.

***

Poin Pertama

Suatu hari seorang kawan berkata kepada saya mengenai hal yang baru saja dia alami dalam hidupnya. Dia bercerita panjang lebar, ditambah dengan cara bicaranya yang khas orang batak (stereo banget, menggelegar membahana), saya jadi sedikit terintimidasi. Bukannya apa-apa, tapi dia tidak memberikan sedikit pun buat saya menimpali, yah ujung-ujungnya saya seperti dipaksa mendengarkan konser. Konser kata-kata sendu, karena dia baru saja mengalami musibah. (Lebih tepatnya musibah hati, epic sih).

Hampir sejam saya mendengarkan dia bertutur kata. Andaikan ada popcorn, tentunya saya bakal dengerin dia sambil makan popcorn. Andaikan ada bantal, tentunya saya masih akan mendengarkan dia sambil tidur-tiduran (terus pura-pura tertidur). Andaikan ada Finalis Gadis Sampul lewat, tentunya.. ya saya lebih milih ngejar Finalis Gadis Sampul. Oke, intinya kawan saya ini mencurahkan semua yang ingin dia curahkan ke suatu penampungan limbah b3 (berbahaya, beracun, dan berbudistandar) yang tidak lain adalah saya sendiri. Saya bukan akan membahas mengenai apa yang dia alami karena terlalu kompleks. Sama seperti menurunkan rumus Phytagoras pakai huruf braille atau seperti baca buku Mekanika Fluida tapi sambil sikap lilin di depan patung Napoleon.

th (3)

buku mekflu zaman kuliah dulu

Memang sih ceritanya kawan saya itu kompleks, saya sendiri bukan mau membahas itu, akan tetapi inti dari pengalaman kawan saya itu berakar pada satu poin. Penyesalan.

Ini sih kompleks gedung.

Ini sih namanya kompleks gedung.

ini baru kompleks a.k.a rumit

ini baru kompleks a.k.a rumit

Jadi poin pertama adalah penyesalan.

***

Poin Kedua

Saya tidak tahu definisi penyesalan secara pasti, lalu apakah saya pernah menyesal? Saya berbohong jika saya bilang saya tidak pernah menyesal. Kata orang, penyesalan selalu datang terlambat. Penyesalan selalu datang di akhir, katanya. Bayangkan ada suatu pesta jamuan yang diadakan oleh seorang Tuan Rumah. Pesta dimulai dengan meriah. Semua tampak senang. Saat pesta sudah mulai usai, tamu-tamu sudah pulang, kursi dan meja bersiap untuk dirapihkan, makanan, apalagi itu, sudah keburu habis. Biasanya sih karena yang dateng pada ngebungkusin makanan. hehe.

Tuan rumah senang karena pesta sepertinya berjalan sukses dan lancar jaya. Ketika tuan rumah tinggal bersiap-siap cuci piring, tiba-tiba datanglah orang asing mengacaukan semuanya. Orang asing itu bernama penyesalan. Mood si Tuan Rumah berubah 179,98 derajat. Tuan rumah telah membuat suatu kesalahan yang membuat si orang asing bernama penyesalan itu datang. Dapat poin yang ingin saya sampaikan? Penyesalan biasanya diawali karena suatu kesalahan. Itu adalah poin kedua.

***

Poin Terakhir

Berbicara mengenai kesalahan, saya punya cerita tentang kesalahan. Waktu saya kelas 3-6 SD, pelajaran yang paling saya tidak sukai adalah Bahasa Indonesia (juga Bahasa Inggris). Maka dari itu jangan heran kalau kemampuan berbahasa dan berpuisi saya masih sangat minim, (jangankan buat bikin puisi, buat bikin kalimat baku aja masih belepotan, zzz, tapi itu dulu sih.) Hal yang paling sering guru saya lakukan ketika pelajaran berlangsung adalah belajar membuat kalimat. Guru saya selalu menerangkan bahwa suatu kalimat yang baik itu harus mengandung S-P-O-K. Saya selalu bingung menentukan Subyek, Predikat, Obyek dan Keterangan yang cocok.

Suatu hari, guru saya sedang membahas mengenai beberapa kata-kata. Beliau menunjuk beberapa orang untuk membuat suatu kalimat dengan kata-kata yang beliau sebut. Tiba giliran saya, lalu beliau menyebutkan sebuah kata yang saya masih ingat sampai sekarang.

Guru : “ Tatoru, coba buat kalimat dari kata mencegah!”

Saya : (noleh ke samping) “emmm..”

Guru : “Kamu jangan kaya Pentium 2 kena virus.”

Saya : (Bingung, gak ngerti apa maksudnya Pentium 2 kena virus, tapi akhirnya setelah saya besar saya ngerti juga, prosesor paling cepat saat itu adalah Pentium 4. Artinya bahwa Pentium 2 sudah ketinggalan zaman. Udah mah ketinggalan zaman, kena virus pulak. Makin leletlah dia kerja.) “….”

Guru : (Mencoba mengulangi) “ Tatoru, coba buat kalimat dari kata mencegah!”

Saya : (Masih bingung nentuin S-P-O-K, tetiba jadi teringat suatu peribahasa) “Lebih baik mencegah daripada mengobati.” (Dalam hati saya udah takut karena merasa uda pasti salah. Udah pasti kena bentak karena gak sesuai SPOK)

Guru : (terdiam, berpikir) “…”

Guru : “Kalimat yang bagus. Pemilihan peribahasa yang tepat. Oke lanjut ke kata lainnya.” (Lalu nunjuk ke siswa lain)

Saya : (terdiam juga, gak percaya kalo baru aja dipuji ama guru).

Saat itu saya gak percaya bahwa saya dipuji oleh guru saya. Bayangkan, kalimat yang saya buat gak mengandung kaidah SPOK namun ternyata malah dibilang bagus. Sampai hari ini pun saya masih heran, dan karena itu hidup saya sedikit lebih baik setelah itu. Pujian memang bisa mengubah seseorang.

Anda pasti bertanya-tanya, apa hubungan cerita saya diatas dengan kesalahan? Bahkan saya tidak dianggap melakukan kesalahan oleh guru saya.

Yah terlepas dari itu, saya mendapati sesuatu penting dari cerita diatas. Poin ketiga adalah, mencegah lebih baik daripada mengobati.

***

Three-Points-Shoot

Penyesalan. Kesalahan. Mencegah. Tiga poin yang saya mau tekankan. Mari bicara mengenai poin satu dan dua, yaitu penyesalan dan kesalahan. Penyesalan bukanlah sesuatu yang bagus. Ia tidak layak untuk dinanti dan diharapkan. Mengapa bisa ada penyesalan? Penyesalan muncul karena adanya suatu kesalahan yang pernah dibuat. Coba lihat, pada dasarnya ini hanyalah sebuah hubungan sebab akibat yang sederhana. Sederhana, yaitu tentang “si sebab” dan “si akibat”.

Selanjutnya saya mau menelaah mengenai cara bagaimana agar “si akibat” tidak datang. Bagaimana caranya? Ya caranya adalah dengan mencegah “si sebab” datang. Tanpa “si sebab” maka “si akibat” tidak akan datang.

Sekarang, siapakah “si sebab”? Kesalahan.

Siapakah “si akibat”? Penyesalan.

Bagi saya, penyesalan adalah sesuatu yang ingin saya hindari jauh-jauh. Jangankan untuk datang terlambat, malah kalau bisa sih, tidak datang sama sekali. Jadi cara supaya si penyesalan agar tidak datang adalah dengan mencegah si kesalahan. As simple as that.

***

Double Hits & Dampak Sistemik

Sejauh ini saya telah berpikir mengenai bagaimana supaya tidak mengalami yang namanya penyesalan. Namun, bagaimana jika penyesalan itu sudah terlanjur datang?

Akhir-akhir ini saya beberapa kali membuat kesalahan. Tidak masalah sih kalau kesalahannya hanya berdampak sistemik pada diri saya sendiri (misalnya: saya lupa nge-charge smartphone di malam hari sehingga besok paginya lowbat, yang rugi kan saya karena besoknya saya jadi gak bisa main hape kalo lagi bosen di kelas. haha).

Yang jadi masalah besar adalah ketika kesalahan itu berdampak sistemik kepada orang lain. Ketika saya tertidur sehingga lupa untuk membukakan pintu bagi kawan sekamar, itu adalah kesalahan fatal. Ketika saya tertidur padahal ada janji makan dengan orang penting,  itu juga lebih fatal. Mengapa ini menjadi masalah besar? Karena membangkitkan suatu kosa-kata baru yang bernama “kecewa” bagi mereka. Dan ingat, kecewa selalu berteman baik dengan rasa tidak nyaman. Rasa tidak nyaman itu tidak disukai oleh setiap orang.

Terlihat jelas sekarang, saya mendapatkan dua penyesalan, dua pukulan, double hits.

Penyesalan pertama adalah karena saya sudah melakukan suatu kesalahan. Sejujurnya beberapa kawan saya bilang bahwa saya adalah orang yang perfeksionis, dalam artian yaitu sangat hati-hati dan tidak suka berbuat kesalahan serta tidak mentoleransi adanya kesalahan. Dengan sifat seperti itu, ketika akhirnya saya membuat suatu kesalahan, tentunya itu suatu malu buat saya. Bagaimana mungkin saya meminta yang hampir sempurna ketika saya sendiri tidak berusaha untuk melakukan yang sempurna. It was a shame.

Penyesalan kedua adalah karena saya telah mengecewakan orang. Siapa sih orang di dunia ini yang mau dikecewakan? Saya tahu bagaimana rasanya kecewa, dan itu tidak enak. Tentunya orang lain juga merasakan hal yang sama tidak enaknya, bahkan bisa lebih. Oleh karena itu saya merasa menyesal sekali karena jika telah mengecewakan orang.

Satu penyesalan saja sudah membuat saya merasa tidak enak dalam beberapa waktu, apalagi dua. Bukannya saya larut dalam penyesalan, namun ada kalanya saya merasa tidak nyaman pada diri saya sendiri karena telah membuat orang lain merasa tidak nyaman dalam suatu waktu tertentu (Bisa menit, jam, hari atau bahkan bulanan bagi yang ekstrem).

Jika penyesalan itu sudah terlanjur datang, maka itu haruslah dihadapi dengan bijak. Setiap orang tentunya punya kebijakan (policy) masing-masing menurut standar kelakuan hidupnya. Setiap kali menyesal, saya selalu menyesal sangat dalam. Saya sangat memerlukan itu supaya saya bisa mematri dalam diri saya untuk tidak mengulanginya lagi, bukan hanya sekadar penyesalan sesaat yang hilang seperti nitrogen cair yang menguap akibat titik didihnya yang sangat rendah, tapi harus benar-benar bisa saya ingat supaya tidak diulangi kedepannya.

Penyesalan adalah sesuatu yang sangat saya hindari karena butuh waktu lama buat mematrinya kembali supaya tidak diulangi lagi kedepannya. Saya sadar bahwa waktu adalah suatu kemewahan bagi saya karena saya tidak punya waktu banyak. Maka dari itu, sekali lagi, saya benci penyesalan.

***

C’est la Vie

Akhir-akhir ini Jakarta tempat saya tinggal sementara sekarang ini sempat dilanda banjir. Hujan yang terus-menerus di daerah sekitar ibukota, ditambah lagi dengan posisi ibukota yang berada di dataran rendah membuat banjir datang dengan mudah. Lupakan banjir, saya mau membahas mengenai hujan. Hujan terjadi dari kumpulan awan. Hujan dan awan, dari sini imajinasi saya mulai menggeliat. (Kayak anak kucing menggeliat-geliat. Lucu kan? Tapi kalo yang menggeliat itu platypus, pasti aneh.)

th

anak kucing geliat-geliut :3

Mari bicara tentang awan dan hujan. Seandainya hujan bisa berkata-kata pada awan, mungkinkah hujan akan merasa menyesal karena telah menjadikan awan menghilang? Apakah awan akan menerima penyesalan si hujan? Saya tidak tahu.  Saya tidak bisa menerka apa isi hati si hujan. Sama persis seperti hati manusia, saya tidak bisa menebak secara pasti apa yang orang lain rasakan jika dalam kondisi seperti itu. Hal ini yang sering membuat saya berhenti sejenak dan agak lama berpikir dan menganalisis, bahkan hingga terlalu dalam sampai-sampai batas delineasinya susah ditentukan. Namun, hidup harus jalan terus dan ia tidak mau menunggu lama. Orang prancis bilang, c’est la vie. Sama seperti awan dan hujan tadi, kelak air hujan pun akan berkumpul lalu masuk ke sungai.

Sungai mengalir lalu bertemu lagi dengan sungai yang lebih besar. Sungai yang besar itu pun terus mengalir dan tidak kembali lagi ke tempat sebelumnya. Ia juga tidak menunggu. Sungai besar ini sudah sangat dirindukan oleh laut. Keduanya akan bertemu di suatu tempat bernama muara. Di laut, air akan terpapar sinar matahari tingkat tinggi lalu terjadi penguapan. Titik-titik uap itu akan berkumpul lagi dan terbentuk lagi awan, entah itu awan nimbus atau cummulonimbus, tergantung pengaruh tekanan dan waktu terbentuknya. Awan-awan ini akan terbawa angin darat ke suatu tempat dan sampai pada waktunya ia akan terkondensasi lagi menjadi titik-titik air. Itulah siklus air. Terus terjadi dan tidak berhenti. Seperti itulah juga siklus kehidupan. Bahagia atau tidak dalam menjalaninya, itu pilihan kan?

🙂

Leave a comment